Rabu, 21 Oktober 2015

Aliran Tradisional

Aliran Tradisional

  1. Munculnya Aliran Tradisional
Pada abad IV SM seorang ahli filsafat bernama Plato (429 SM-348 SM) menelorkan pembagian jenis kata bahasa Yunani Kuno dalam kerangka telaah filsafatnya. Plato membagi jenis kata bahasa Yunani Kuno menjadi dua golongan yakni onoma dan rhema. Onoma adalah jenis kata yang biasanya menjadi pangkal pernyataan atau pembicaraan. Adapun rhema adalah jenis kata yang biasanya dipakai untuk mengungkapkan pernyataan atau pembicaraan. Secara awam atau secara mudahnya onoma ini lebih kurang dapat disejajarkan dengan kata benda, sedangkan rhema lebih kurang disejajarkan dengan kata kerja atau kata sifat. Selanjutnya, Aristoteles (384 SM-322 SM) membagi jenis kata bahasa Yunani Kuno menjadi tiga golongan yakni onoma, rhema, dan syndesmos.

Perkembangan ilmu bahasa sampai pada masa itu terbatas pada telaah kata saja, khususnya tentang jenis kata. Tata bahasa atau gramatikal baru mulai diperhatikan pada akhir abad (130 SM) oleh Dyonisius Thrax. Buku tata bahasa yang pertama disusun itu berjudul “Techne Gramatike”. Buku inilah yang kemudian menjadi anutan para ahli tata bahasa yang lain yang kemudian dikenal sebagai penganut aliran tradisionalisme. Pada zaman ini pembagian jenis kata sudah mencapai delapan, yakni: (1) nomina, (2) pronominal, (3) artikel, (4) verba, (5) adverbial, (6) preposisi, (7) partisipium, (8) konjugasi.

B.    Ciri-ciri Aliran Tradisional
Tata bahasa tradisional menurut Abdul Chaer (2003: 333)  menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik. Dalam merumuskan kata kerja, misalnya, tata bahasa mengatakan kata kerja adalah kata yang menyatakan tindakan atau kejadian.

Ciri-ciri aliran tradisional menurut Soeparno (2002: 44) adalah sebagai berikut.

1.                 Bertolak dari Pola Pikir secara Filosofis.

Ada dua hal yang menjadi bukti bahwa aliran Tradisional menggunakan landasan/pola pikir filsafat ialah banyaknya pembagian jenis kata yang bersumber dari onoma-rhema produk Plato dan onoma-rhema-syndesmos produk Aristoteles; dan penggunaan istilah subjek dan predikat yang sampai saat ini menjadi materi utama dalam pembelajaran bahasa di sekolah.

2.                 Tidak Membedakan Bahasa dan Tulisan.
Teori ini mencampuradukkan pengertian bahasa (dalam arti yang sebenarnya) dan tulisan (perwujudan bahasa dengan media huruf). Dengan demikian, secara otomatis juga mencampuradukkan pengertian bunyi dan huruf. Sebagai bukti seorang ahli bahasa mencampuradukkan pengertian tersebut dapat dibaca pada kutipan “Antara vocal-vokal itu, huruf a adalah yang membentuk lubang mulut yang besar, i yang kecil, e biasanya terbentuk di dalam mulut sebelah muka, dan o di belakang sebelah ke dalam” (Mees dalam Soeparno, 2002: 44)

3.      Senang Bermain dengan Definisi.
Ciri ini merupakan pengaruh dari cara berpikir secara deduktif. Semua istilah diberi definisi terlebih dahulu kemudian diberi contoh, yang kadang-kadang hanya ala kadarnya. Teori ini tidak pernah menyajikan kenyataan-kenyataan bahasa yang kemudian dianalisis dan disimpulkan. Yang paling utama adalah memahami istilah dengan menghapal definisi yang dirumuskan secara filosofis.

4.      Pemakaian Bahasa Berkiblat pada Pola/Kaidah.
Ketaatan pada pola ini diwarisi sejak para ahli tata bahasa tradisional mengambil alih pola-pola bahasa latin untuk diterapkan pada bahasa mereka sendiri. Kaidah bahasa yang telah mereka susun dalam suatu bentuk buku tata bahasa harus benar-benar ditaati oleh pemakai bahasa. Setiap pelanggaran kaidah dinyatakan sebagai bahasa yang salah atau tercela. Pengajaran bahasa di sekolah mengajarkan bahasa persis yang tercantum di dalam buku tata bahasa. Praktik semacam itu mengakibatkan siswa pandai dan hafal teori-teori bahasa akan tetapi tidak mahir berbicara atau berbahasa di dalam kehidupan masyarakat. Tata bahasa yang mereka pakai itu biasa disebut tata bahasa normative dan tata bahasa preskriptif.

5.      Level-level Gramatik Belum Ditata Secara Rapi.
Level (tataran) yang terendah menurut teori ini adalah huruf. Level di atas huruf adalah kata, sedangkan level yang tertinggi adalah kalimat. Menurut teori ini, huruf didefinisikan sebagai unsure bahasa yang terkecil, kata didefinisikan sebagai kumpulan dari huruf yang mengandung arti, sedangkan kalimat didefinisikan sebagai kumpulan kata yang mengandung arti lengkap. 

6.      Tata Bahasa Didominasi oleh Jenis Kata (Part of Speech)
Ciri ini merupakan ciri yang paling menonjol di antara ciri-ciri yang lain. Hal ini dapat dimengerti Karena masalah penjenisan kata merupakan aspek linguistik yang paling tua dalam sejarah kajian linguistik.

C.   Keunggulan dan Kelemahan Aliran Tradisional

1.      Keunggulan

ü  Teori tradisional lebih tahan lama karena pola pikir aliran ini bertolak dari pola pikir filsafat.
ü  Aliran ini berkiblat pada bahasa tulis baku, maka keteraturan penggunaan bahasa bagi para penganutnya amat dibangggakan.
ü  Aliran tradisional mampu menghasilkan generasi yang mempunyai kepandaian dalam menghafal istilah karena salah satu ciri aliran ini senang bermain dengan definisi.
ü  Aliran tradisional menjadikan penganutnya memiliki pengetahuan tata bahasa yang cukup tinggi karena pemakaian bahasa berkiblat pada pola atau kaidah.
ü  Aliran ini telah memberikan kontribusi besar terhadap penegakan prinsip: “yang benar adalah benar walaupun tidaka umum, dan yang salah adalah salah walaupun abanyak pengikutnya”.

2.      Kelemahan

ü  Teori tradisional belum bisa membedakan bahasa dan tulisan sehingga pengertian antara bahasa dan tulisan masih kacau.
ü  Teori ini tidak pernah menyajikan kenyataan bahasa yang kemudian dianalisis dan disimpulkan, yang paling utama adalah memahami istilah dengan menghafal definisi yang dirumuskan secara filosofis.
ü  Pemakaian bahasa berkiblat pada pola atau kaidah sehingga siswa pandai dan hafal teori-teori bahasa akan tetapi tidak mahir sama sekali berbicara atau berbahasa didalam kehidupan masyarakat.
ü  Level-level gramatikalnya belum rapi hanya tiga level yang secara pasti ditegakkan, yakni huruf, kata, dan kalimat.
ü  Pemerian bahasa menggunakan pola bahasa latin yang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia.
ü  Pemerian bahasa berdasarkan bahasa tulis baku padahal bahasa tulis baku hanya merupakan sebagian dari ragam bahasa yang ada.
ü  Permasalahan tata bahasa masih banyak didominasi oleh permasalahan jenis kata (part of speech), sehingga ruang lingkup permasalahan masih sangat sempit.
ü  Objek kajian hanya sampai dengan level kalimat, sehingga tidak memungkinkan menyentuh aspek komunikatif.


Linguistik tradisional adalah adalah segala hal mengenai paham, aliran, dan tokoh yang ada pada zaman Yunani kuno hingga zaman renaisans.Dalam zaman linguistik tradisional, para ahli  bahasa saat itu mengkaji bahasa berdasarkanfilsafat dan semantik.Tokoh yang mengembangkan ilmu linguistik tradisional di antaranya berasal dari bangsa Eropa danAsia seperti Yunani, RomawiIndia, Latin, dan Arab.

Aristoteles
Linguistik zaman Yunani

Studi bahasa pada zaman Yunani telah berjalan sekitar kurang-lebih 600 tahun (5 SM-2 M). Masalah pokok yang menjadi bahasan studi linguistik pada zaman ini adalah pertentangan mengenai sifat dasar bahasa, apakah ia bersifat alami dan tak bisa diubah maknanya (fisis), atau bahasa itu bersifat manasuka dan dapat berubah-ubah maknanya (nomos).Selain itu, pada zaman diperdebatkan pula apakah bahasa itu bersifat teratur (reguler) misalnya seperti pembentukan kata jamak boy->boys, girl->girls, check-checked, atau bahasa itu bersifat tak teratur (ireguler) seperti kata bahasa Inggris go->went, write-wrote bukan writed.Tokoh-tokoh yang muncul dan memberikan sumbangsih dalam perkembangan ilmu bahasa pada zaman linguistik tradisional di Yunani di antaranya adalah Kaum SophisPlato,Aristoteles, dan Kaum Stoik.

Kaum Sophis (5 SM) mulai melakukan studi bahasa dengan melakukan penelitian secara empiris dengan menggunakan ukuran-ukuran, dan mereka juga mengklasifikasikan tipe-tipe kalimat berdasarkan makna. Mereka melakukan penelitian bahasa dengan memperhatikan retorika, atau cara para cendekiawan Yunani menyampaikan ceramah. Tokoh yang populer dari Kaum Sophis adalahProtagoras dan Georgias.

Plato (429-347 SM) memberikan sumbangan pada ilmu bahasa dalam bukunya yang berjudul Dialoog. Ia menyatakan bahwa bahasa merupakan hasil pikiran manusia yang terdiri dari onoma dan rhemata. Onoma yaitu kata benda, nama, dan subjek, sedangkan rhemata adalah ucapan sehari-hari, verba, dan predikat. Dalam bukunya juga dibahas mengenai perbedaan antara sifat bahasa yang alamiah dan konvensional.
Pasca Plato, muridnya Aristoteles (384-322 SM) juga ikut memberikan sumbangsih dalam ilmu bahasa, di antaranya yaitu ia menambahkan elemen bahasa yang dinyatakan Plato dengan antar lain Onoma, Rhemata, dan Syndesmoi atau preposisi dan konjungsi.Selain itu, ditambahkan pula mengenai Legein bunyi tak bermakna, dan prophetal atau bunyi bermakna, dan kelamin kata (gender).
Selanjutnya, Kaum Stoik (4 SM), menambahkan elemen bahasa menjadi onoma, rhemata, syndesmoi, dan arthoron, yang artinya adverbial kuantitas. Selain itu, mereka juga meletekkan dasar komponen utama dalam studi bahasa di antaranya mengenai simbol, makna, dan konteks, yaitu sesuatu yang di luar bahasa.Mereka juga lah yang pertama kali mengenalkan kata kerja pasif dan aktif.

Kaum Alexandria
Kaum Alexandria membuat buku tata bahasa yang bernama Dionysius Thrax yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ars Gramatika.Buku ini merupakan buku pertama tata bahasa pada aliran linguistik tradisional, jadi buku tata bahasa Dionysius Thrax itu merupakan cikal bakal linguistik tradisional.Sementara itu, Panini (400 SM) seorang sarjana Hindu dari India juga menerbitkan buku bernama Astdhyasi tata bahasa Sanskerta dengan jumlah 4000 ayat yang gagasan-gagasannya digunakan oleh para ahli linguistik modern hingga saat ini.

Zaman Romawi
Studi bahasa pada zaman Romawi banyak terpengaruh dari zaman Yunani.Tokoh penting dalam perkembangan bahasa pada zaman ini adalah Varro, yang mengeluarkan buku De Lingua Latina setebal 25 jilid dan Priscia 18 jilid. Kedua buku menjelaskan mengenai etimologi (asal mula kata), morfologi, dan sintaksis. Selanjutnya buku ini menjadi tonggak utama perkembangan linguistik tradisional Eropa.

Zaman Renaisans
Zaman renaisans merupakan pembukaan bagi abad pemikiran modern dalam studi linguistik.[3] Hal itu dikarenakan pada zaman ini banyak sarjana yang menguasai bahasa Yunani, Ibrani, Latin, dan Arab. Selain itu, mereka juga mengkaji, menyusun, dan membuat perbandingan terhadap bahasa-bahasa tersebut

Linguistik bahasa Ibrani dan bahasa Arab
Penelitian dalam linguistik bahasa Ibrani dan bahasa Arab dilakukan karena kedudukan kedua bahasa tersebut dalam agama Islam dan agama Yahudi. Dalam studi linguistik bahasa Ibrani diterbitkan buku berjudul De Rudimentis Hebraicis karangan Reuchlin yang membahas mengenai penggolongan kata dalam bahasa Ibrani.Sedangkan studi linguistik bahasa Arab terbagi menjadi dua aliran yaitu Basrah dan Kufah.Perbedaan dari kedua aliran ini adalah Basrah mengikuti konsep analogi, yaitu bahasa merupakan sistem yang teratur atau regular. Sedangkan kufah berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur atau ireguler.Tokoh-tokoh yang menerbitkan karya pada zaman ini adalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi dengan karya Kitab al Ayn, dan Sibawaih dengan karyanya Al-Kitab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar